oleh Wahyu Chandra, Makassar di 17 September 2016
Keterbatasan lahan di perkotaan ternyata bukanlah hambatan untuk bertani. Dengan sistem pertanian hidroponik hambatan lahan bisa diatasi dengan hasil yang tak kalah bagusnya dengan sistem pertanian konvensional.
Hal ini dibuktikan oleh Takdir Syafruddin (45), salah seorang penggiat tanaman hidroponik di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Halaman rumahnya yang tak begitu luas disulap menjadi kebun hidroponik memanfaatkan pipa-pipa dan botol-botol plastik bekas. Aktivitas bertani yang dilakoninya setiap hari tak mengganggu pekerjaan utamanya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Kelautan, Perikanan Pertanian dan Peternakan (DKP3) Kota Makassar.
“Kalau mau memenuhi kebutuhan pangan sendiri maka bisa pakai hidroponik ini. Lebih sehat dan tanpa biaya besar karena berasal dari kebun sendiri,” katanya kepada Mongabay di rumahnya, Perumahan Delta Bumi Sudiang, Makassar, Minggu (11/9/2016).
Menurutnya, kelebihan hidroponik ini, selain penggunaan lahan yang terbatas, juga karena bisa tumbuh di mana saja dan tak tergantung pada musim. Bahkan di wilayah pesisir dengan iklim panas pun bisa tumbuh dengan baik.
“Bahkan ada yang menanam di atas kapal dan ternyata bisa tumbuh dengan baik. Saya waktu pakai polybag itu kesulitannya cari tanah untuk digunakan menanam, sementara dengan hidroponik cukup menggunakan air yang jumlahnya pun tak begitu banyak.”
Syarat utama hidroponik ini memang pada ketersediaan air, yang bisa berasal dari sumur bor, sisa buangan AC dan bahkan bisa menggunakan air PDAM.
“Ada yang pernah coba pakai air PDAM dan hasilnya baik. Saya sendiri tidak melakukannya karena pertimbangan adanya kandungan kaporit di dalamnya.”
Untuk penyemaian bibit, ia biasa menggunakan bahan yang disebut rockwool, yang bisa dibeli di toko tani atau online. Media lain adalah sekam bakar, sabuk kelapa, dan bahan-bahan lain yang sifatnya lembab.
Masa tumbuh tanaman di semaian bervariasi. Untuk sawi atau selada misalnya, dalam 24 jam sudah berkecambah. Setelah 7 – 10 hari biasanya sudah siap tanam. Tanaman hasil semaian ini kemudian ditempatkan di wadah tanaman yang disebut netpot.
Ada beberapa metode hidroponik yang bisa digunakan Takdir Syafruddin (45), salah seorang penggiat tanaman hidroponik di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Selain DFT juga bisa dengan cara Dutch Bucket, yang khusus untuk tanaman buah, seperti lombok, tomat dan terong. Foto: Wahyu Chandra
Sistem pertanian hidroponik ini bukannya tanpa masalah. Masalah yang biasa dihadapi adalah PH air yang bisa meningkat tajam karena faktor cuaca panas. Hanya saja, Takdir sudah menemukan solusinya, yaitu dengan menambahkan cuka dapur secukupnya untuk menurunkan PH.
Masalah lain yang kadang muncul adalah serangan hama berupa ulat. Solusinya menggunakan pestisida nabati yang bisa dibuat sendiri menggunakan daun serai dan lombok yang dicampur dan difermentasi. Inilah yang kemudian disemprotkan pada tanaman yang terserang.
Prinsip hidroponik
Prinsip pertanian hidropik ini adalah budidaya tanaman yang tidak lagi menggunakan tanah sebagai media tanam, tetapi memanfaatkan air yang telah diberi nutrisi untuk tanaman.
“Airnya itu kita campur nutrisi yang mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman, dari situ lah tanaman mendapatkan makanan sehingga bisa tumbuh baik.”
Untuk nutrisi ini sendiri, tambahnya, pada dasarnya tanaman membutuhkan dua unsur, yaitu unsur makro yang disebut NPK. Selain itu ada mikro, yaitu unsur tertentu yang harus dimiliki tanaman dalam jumlah sedikit dan harus ada, seperti Natrium, Boron dan unsur-unsur lainnya.
“Kedua unsur ini kemudian diracik dalam satu ramuan yang kemudian disebut AB Mix. A untuk makro dan B untuk mikronya, yang dilarutkan ke dalam air untuk sumber makanan bagi tanaman.”
Model pertanian hidroponik ini ternyata memiliki sejumlah variasi. Model paling sederhana adalah model menggenang, dengan hanya menggunakan botol-botol bekas dan styrofoam, yang disebut metode wig atau sumbu.
Ada juga metode rakit apung, dimana styrofoam dilubangi dan diapungkan di dalam kolam. Metode yang lebih kompleks adalah metode Deep Flow Tehnique (DFT) dengan meletakkan akar tanaman pada lapisan air kedalaman berkisar antara 4-6 cm. Metode lain adalah Nutrient Film Technique (NFT), dimana medium berupa kemiringan sekitar 5 derajat dengan aliran air yang tipis. Ada juga metode Dutch Bucket, yang khusus untuk tanaman buah, seperti lombok, tomat dan terong.
Menurut Takdir, pada dasarnya semua jenis sayuran bisa dibudidayakan dengan sistem hidroponik ini, baik itu sayuran daun ataupun sayuran buah. Tanaman-tanaman lain yang cocok adalah tanaman hias dan tanaman-tanaman herbal seperti ginseng, mint dan binahong.
Takdir sendiri selama ini telah mencoba berbagai jenis tanaman, beragam jenis sayuran daun, seperti sawi, pakcoi, seledri, kangkung, bayam. Ia juga sudah mencoba sejumlah sayuran buah seperti tomat dan labu, melon, kol dan kembang kol dan kol.
Masa tumbuh tanaman di semaian bervariasi pada metode hidroponik. Untuk sawi atau selada misalnya, dalam 24 jam sudah berkecambah. Setelah 7 – 10 hari biasanya sudah siap tanam. Tanaman hasil semaian ini kemudian ditempatkan di wadah tanaman yang disebut netpot. Foto: Wahyu Chandra
Terkait biaya, besarnya tergantung pada sistem hidroponik yang dipilih. Jika menggunakan metode sederhana berupa wig atau sumbu tak membutuhkan banyak biaya karena hanya menggunakan barang-barang bekas, seperti botol-botol plastik dan styrofoam.
Dengan metode yang sudah menggunakan teknologi, seperti DFT atau NFT, biayanya cukup besar sebagai investasi awal. Untuk membangun instalasi DFT, Takdir membutuhkan biaya sekitar Rp3 juta, dengan syarat dikerjakan sendiri atau tanpa menggaji orang lain untuk mengerjakannya.
“Untuk membuat seperti yang di depan rumah ini saya menggunakan 6 batang pipa yang harga totalnya Rp600 ribu. Lalu ada atap dan rangka sekitar Rp2 juta-an. Kemudian pompa aquarium 20 watt yang harganya sekitar Rp150 ribu. Sisanya untuk pembelian netpot dan medium penyemaian.”
Berawal dari Facebook
Menurut Takdir, ketertarikannya pada pertanian organik ini berawal dari artikel dan foto-foto yang diperolehnya di Facebook terkait urban farming dua tahun silam.
“Saya lihat banyak postingan teman-teman memamerkan kebun hidroponiknya. Saya paktekkan lalu difoto dan kemudian upload di Facebook sambil bertanya caranya.”
Meski tak memiliki basis pendidikan pertanian, Takdir mengakui tak begitu kesulitan mempelajari pertanian hidroponik ini. Apalagi ia memang berasal dari keluarga petani. Ia hanya butuh waktu sekitar dua bulan sebelum benar-benar terampil. Ia sempat gagal di awal-awal namun dari kegagalan itu ia justru mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak.
“Pada penyemaian pertama kali saya gagal karena tidak dijemur dan disimpan di dalam ruangan. Tanaman menjadi memanjang kutilang atau istilah pertaniannya etiolasi.”
Berbagi ilmu dengan orang lain
Ketika mulai terampil dan memahami dengan baik seluk beluk pertanian ini, Takdir tak segan berbagi ilmu dengan orang lain melalui media sosial seperti Facebook, Twitter dan WhatsApp. Ia juga sering diundang untuk memberi pelatihan dan pendampingan di sejumlah komunitas dan sekolah-sekolah.
“Untuk pendampingannya sendiri saya pakai WhatsApp. Mereka yang sudah menanam akan mengirimkan foto hasil semaian atau pertanaman mereka untuk diberi masukan, apalagi jika mereka menghadapi masalah.”
Dari sejumlah penggiat pertanian ini, umumnya dari kalangan profesional yang menjadikan aktivitas bertani hidroponik ini sebagai hobi. Ada juga komunitas-komunitas seperti remaja masjid dan gereja, atau komunitas pertanian perkotaan seperti Makassar Berkebun.